Minggu, 03 Mei 2009

menggapai angin

“Gue lagi ngapain nih, Rish?” Cowok itu membuat gerakan-gerakan aneh. Dua tangannya menggapai-gapai ke segala arah. Kesepuluh jarinya membuka dan menutup bergantian.
“Ini namanya menggenggam angin. Gue pernah baca satu cerpen yang judulnya Menggenggam Angin. Sesuatu yang sia-sia. Tau? Ya kayak gini. Tadinya gue ngira ungkapan yang lebih pas ‘menggapai awan’. Tapi sekarang gue sudah tau kalo awan itu ternyata nggak begitu tinggi. Ada yang rendah malah.”
“Angin itu memang terasa. Kita tau kemana dia berembus. Kadang dia lembut. Kadang keras. Malah terkadang terlalu keras. Tapi yang lucu, sekeras apapun yang namanya angin, kita tetap nggak bisa menggenggamnya sedikit pun. Padahal dia bisa ngelempar kita jauh-jauh!”

(esti kinasih-fairish)

Angin. Akan selalu berhembus. Dan kita akan selalu dapat mengetahui kemana arahnya.
Awan. Akan selalu menjadi gumpalan putih di langit. Dan kita akan selalu dapat melihat berbagai bentuknya, tapi tak dapat kita sentuh wujudnya. Menipu.
Air. Akan selalu mengalir mengikuti arusnya. Dan kita akan mendapatkan banyak peristiwa yang dilakukan olehnya.
Pelangi. Akan selalu berwarna. Tapi hanya terbentuk dari spectrum-spectrum pembiasan dari sang matahari. Hanya sesaat. Semu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar