Rabu, 31 Maret 2010

hujan pun menyapa



Aku berpikir beberapa saat.


Mengapa harus kembali padanya?

Adakah aku salah membaca perasaanku ini ataukah seharusnya aku menunggu jawaban yang sejelas-jelasnya?

Mungkinkah saat ini aku tengah bersimpati padanya, setelah merasa bahwa rasa ini nyata? Karena ia telah kehilangan segalanya, sementara aku mendapatkan segalanya.


Hujan. Wahai hujan…


Andaikan Ia membawanya di sisiku saat ini, maka turunlah dan tahanlah dia di sini hanya untukku. Aku hanya ingin berada di sisinya dalam keheningan suara hujan. Hanya ingin berada di sampingnya, dan ketika nanti hujan ini reda, kami pulang membawa tawa karena kami belajar saling mengerti.


Hujan.


Masa itu, ketika engkau menahannya untukku, di kala itu aku terpaku padanya, dan melupakan semua masa lalu itu.. dan sekarang aku pun ingin engkau menahannya untukku, sehingga aku kembali terpaku padanya. Sedetik pun tak apa.


Hujan.


Ingin sekali aku menari bersamanya di bawah guyuran hujan. Melangkah kecil dengan penuh asa dan mimpi yang akan kuuraikan. Ingin sekali tertawa di balik hujan, dan membuatnya nyaman di sampingku. Ingin sekali membuatnya melupakan sejenak kesedihannya dan membawanya pada duniaku yang penuh keceriaan ini.


Hujan.


Akankah ia merasakan ini?

akankah ia menerima ini?

akankah ia melupakan perasaannya pada wanita itu?

Akankah ia melihatku sebagai seorang wanita?

Akankah ia tersenyum padaku?

Dan akankah ia menerima keadaanku yang mulai ‘menoleh’ padanya kembali?



Sangat merindukannya… rindu sekali… ingin bertemu dengannya...

secepatnya…



Minggu, 07 Maret 2010

perjalanan dalam sebuah kerinduan

Seperti perjalanan dari solo ke yogya dengan menggunakan prameks. Seperti itulah perasaanku yang di bawa terbang. Bukan masalah waktu, tetapi masalah hati.

Semakin meninggalkan jauh kenangan itu, semakin ingin kembali padanya. Tapi ada satu tembok yang berpenghalang. Tak mampu untuk terlangkahi. Tak mampu untuk dirobohkan. Ia terlalu kuat.

Ada satu rasa yang selalu berkecambuk ketika meninggalkan kota ini. ia ada kemudian hilang. Ia bagaikan angin, selaksa makna tak mampu terungkapkan. Segala kegetiran yang dahulu hilang kini kembali berkembang, dengan intensitas dan makna yang jauh berbeda.

Bukan keindahan yang ia butuhkan, tetapi keyakinan yang kuat.

Aku berdiri pada satu dimensi ruang, dimana realitas dan imajinasi berkumpul menjadi satu. Bahkan terlalu kuat untuk dapat di musnahkan. Ia membelok pun aku tak sadar. Bahkan ketika ia pergi pun, aku tak merasakan kehampaan. Ia menampakkan lagi dirinya dalam bayang imajinasi yang berbeda. Terkuak dalam susunan memori otak. Ia bekerja dengan sungguh sangat rapinya.

Dan ada yang berbeda…

Ketika perjalanan itu telah sampai pada tujuan, aku menoleh. Kembali teringat akan setapak perjalanan ini. dan sangat merindukannya. Sayang, aku sudah tak lagi dapat kembali dengan tapak yang sama ketika kuputuskan untuk melangkah.

Hujan pun menyerbu kami. Membunuh kami dengan setiap celah yang ada. Sudah tak dapat lagi dibedakan antara imaji dan realita. Mereka telah berbaur menjadi satu dalam sebuah kerinduan.

Aku tak lagi menolak apa yang telah menjadi satu iitu. Hanya saja aku berharap akan tujuan itu mampu tergapai dalam jalinan cinta dan cita.