Rabu, 09 September 2009

cara menyayangi yang salah

Ada berbagai macam cara seseorang menyayangi orang lain. Semua itu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Terkadang ada yang terlihat ketus untuk menyatakan perasaannya. Banyak juga yang menunjukkan perasaan sayangnya dengan menjaga orang yang disayangi agar tak disakiti. Banyak kasus yang seperti ini, saking sayangnya seseorang, sehingga tidak ingin hati orang yang disayangi terluka, sehingga ia melakukan segala cara untuk mengekang orang yang disayanginya itu. Istilah nge-trennya adalah over protective.

Beberapa hari yang lalu, gue mendapatkan gambaran perasaan sayang yang sungguh sangat berbeda. Perasaan sayang seorang anak dengan orangtuanya. Sejujurnya gue tidak bisa menyelami perasaan sang anak, tapi gue mampu menyelami perasaan orangtua sang anak. Dalam masa ini, gue bingung untuk dapat menggambarkan karakter si anak. Terkadang, gue merasa bahwa si anak adalah anak yang berbakti, tapi disisi lain gue merasakan hal yang sebaliknya.

Dalam story ini, gue hanya berperan sebagai penonton yang tak mampu untuk memberikan komentar yang lebih dalam lagi. Karena gue tidak memiliki hak untuk turut campur tangan dalam masalah keluarga ini. Banyak sudut yang gue lihat dari ‘sayang’ yang sang anak tunjukkan untuk kedua orangtuanya. Sering gue melihat senyum itu melingkar di pipi orangtua, tapi tak jarang juga gue melihat airmata itu.
Saat itu, sahabat gue datang dengan muka yang begitu lesu, seolah bumi tak sanggup lagi menerima pijakan kakinya. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia diam di depan gue, dan pandangan matanya kosong. Dalam hati gue bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi dengan anak ini. Tak lama dia mengheningkan cipta, akhirnya bersuaralah ia. Mulailah ia bercerita dengan sisa-sisa ketegaran yang ia miliki.

“Dia membentak papa lagi” katanya berusaha menahan air di matanya.

“Masalah?”

“Masih sama seperti yang kemarin” dia hening sejenak. Berpikir darimana harus memulai cerita ini, “Kemarin sewaktu gue nggak di rumah. Dia membentak papa, kata mama, papa hanya diam saja. Tapi mama di dapur hanya mendengarkan saja, dan mama sakit hati” sekilas gue melihat airmata itu telah menjadi bendungan di pelupuk matanya. Tapi dia tetap saja memaksakan diri untuk bercerita, “Selama ini mama diam, karena telah merasa dia dewasa, tapi ternyata… kekanak-kanakkan!” kali ini air itu tak lagi dapat dibendung di matanya. Gue tak bergeming, bahkan tak ada niat untuk mengambilkannya tissue untuk menghapus airmatanya. Bagi gue, tissue hanya akan memanjakan airmata agar terus menetes. Gue biarkan dia sesenggukkan menahan perasaannya itu.

“Semalam mama menceritakan semuanya” lanjutnya dengan wajah yang dibanjiri butiran airmata, “Gue marah, gue juga sakit, tapi gue nggak mampu melawan dia. Dia merasa telah berbuat banyak buat keluarga gue. Padahal yang dia bawa hanyalah tangisan di keluarga gue. Sikapnya yang kekanak-kanakkan beberapa tahun yang lalu, dan saat itu mama dan papa dengan sabar menghadapi dia, tapi sekarang… apa yang dia telah lakukan? Kembali membuat mama menangis dan papa yang sakit hati” air mata itu tak lagi dapat dibendung bahkan mungkin dengan selembar tissue. Dia terdiam sejenak, mengatur irama napasnya yang tersendat-sendat.

“Kemarin pagi, saat dia bekerja. Mama menangisi dia saat masak sarapan buat dia. Mama sakit dengan perlakuan dia kepada papa. Di depan orang-orang saja, terlihat betapa ia sayang dengan papa, tapi di luar dari itu dia…. Menyebalkan!!!” dia mengelap airmatanya. Menahan segala rasa yang berkecambuk di hatinya. Masih dengan sisa-sisa kekuatannya dia tetap bercerita, “dia hampir mencelakai papa. Ketika dia naik motor dan memboncengin papa, dia ngebut dan hampir menabrak trotoar, dan dia mengerem mendadak dan meninggalkan motornya dalam keadaan papa diatas motor dan belum siap dengan turunnya dia secara mendadak. Untung saja papa dengan refleks menahan motornya itu. Sesampainya di rumah, papa sakit. Seharusnya dia tahu bahwa kondisi papa sudah tidak lagi sekuat yang dulu. Sekarang papa rapuh. Padahal diantara kami, hanya dialah anak kebanggaan papa” ujarnya dengan ketegaran yang dia miliki, sekalipun matanya tetap berair mata.

“Saat ini papa butuh sekali penghiburan dari kami, keluarganya. Papa butuh kasih sayang yang lebih dari yang sebelum-sebelumnya. Kapan dia bisa menjadi dewasa? Sikapnya sunggu memuakkan!” ujarnya mengakhiri ceritanya dengan deruan airmata yang deras. Sekujur tubuhnya menjadi panas. Mukanya menjadi merah. Gue tahu bahwa dia capek dengan airmata yang diselingi dengan ceritanya itu. Dia berusaha sekuat tenaga tetap kuat dan tidak goyah.

Usai ia bercerita, gue teringat akan sesuatu. Memory otak gue berputar pada waktu beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu gue melihat mamanya menangis di dapur. Beliau sedang memasak nasi goreng. Sebutir airmata itu menetesi nasi goreng. Ketika itu, gue tidak tahu apa yang sedang beliau rasakan. Saat beliau sadar akan keberadaan gue, beliau segera menghapus air matanya itu.

“Masak apa, Tan?”

“Nasi goreng buat sarapan. Aduh tante pilek neh, kamu jangan dekat-dekat tante nanti nular loh...” gue pergi menjauh dari beliau. Berusaha memberikan ruang buat beliau untuk melampiaskan perasaannya itu. Dalam hati gue berharap, beliau mampu menahan semua ini. Memiliki kesabaran yang tak pernah habis di makan ruang dan waktu.
Kembali pada sahabat gue.

Setelah merasa lega, gue hanya sedikit berkomentar, “Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda untuk menunjukkan rasa sayang mereka”

Dia menatap gue seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Sedetik kemudian dia berlari pergi, tanpa mendengar kelanjutan ucapan gue.

Dimata gue, ada banyak ruang bagi seseorang mengekspresikan perasaannya. Ada orang yang berpikir bahwa bahwa caranya menyayangi orang adalah yang terbaik dalam hidupnya, sekalipun mungkin malah akan, terkesan, menyiksa orang yang tersayang. Gue percaya, sekalipun itu hanya 1% saja, bahwa setiap anak pasti memiliki perasaan sayang terhadap orangtuanya. Meskipun tak sebesar cinta orangtua terhadap anak.
Pelajaran yang dapat diambil, bagaimanapun cara kita mengekspresikan perasaan kita, kita juga perlu memperhitungkan perasaan dan keadaan orang yang menjadi ‘korban’ ekspresi perasaan kita. Jangan melihat bahwa kekerasaan berarti tidak sayang, lihatlah dari sudut lain bahwa kekerasaan adalah sayang, hanya cara yang digunakan salah. Jadi perlu adanya evaluasi untuk diri, dan meluruskan ‘cara’ yang melenceng tersebut, agar tidak ada satu orang pun yang terluka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar