Minggu, 13 Juni 2010

pelangi

Langkah kaki ini membawaku menjauh dari dia.

Sore itu, ada yang membuatku melangkah menghampirinya. Membawa sebuah buku diary yang kudapatkan di loker mejaku. Di hadapannya aku menaruh buku itu. Seketika itu juga ia melihatku, dia sadar akan benda yang ada di hadapannya. Ekspresi muka yang tak mampu aku lupakan begitu saja. muka yang penuh dengan kekagetan dan rasa takut.


“Apa maksudnya semua ini?” ujarku. Dan dia diam, tidak menjawab pertanyaanku, “Kamu kan temanku dan selamanya akan menjadi temanku. Kenapa? Kenapa seperti ini?” dia masih tetap diam, bahkan tak mampu menatap wajahku, “Tolong lihat mataku, dan jelaskan padaku! Tolong katakan bahwa semua ini tidak benar! Katakan padaku bahwa ini bukan bukumu! Katakan padaku bahwa ini semua bohong! Katakan! Katakan! Katakan!” ujarku membentaknya dengan suara tinggi, dan dia masih diam. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Tidak ada pernyataan darinya. “Baiklah kalo begitu… hubungan persahabatan kita lebih baik kita akhiri…” ujarku dengan begitu emosi.


Aku melangkah, dan kurasakan bahwa ia menangis dalam diamnya. Ada sekeping perasaan yang hancur lebur. Begitu sakit menusuk jantungku. Aku hanya berharap satu persahabatan yang abadi, tapi kenapa ketika aku mulai mendapatkan rasa itu, ia harus memiliki rasa itu. Rasa yang seharusnya tidak ada dalam hatinya. Ingin sekali berbalik dan memeluknya menenangkan dia dalam tangisannya. Seandainya saja dia berbohong dan mengatakan bahwa ini tidak benar maka aku akan mempercayainya, dan memeluknya saat ini.


Oh… Tuhan, kenapa bisa sesakit ini?


Jika saja dia mampu memahami keadaanku dengan lebih baik lagi. Seandainya dia mampu sedikit saja melihatku dan berkata bahwa ada yang menfitnahnya. Seandainya saja dia tidak sebodoh ini, aku tidak akan memutuskan persahabatan kami sekian tahun ini. dan kini saatnya untuk sendiri kembali.



Beberapa minggu kemudian, aku mendapatkan kiriman sebuah CD yang berisi video. Ketika aku mendengarkan rekaman itu, aku menyadari siapa pengirim CD itu. Dia berada di hadapanku saat ini, tapi kami berada dalam dimensi yang berbeda. Dia duduk di atas tempat tidur di kamarnya yang serba putih bersih.


“Hay… lama tidak mengobrol denganmu… apa kabar? Hm… maafkan aku… mungkin kamu tidak akan pernah mengerti dan paham dengan semua ini… waktu itu kamu meminta penjelasanku mengenai buku itu kan? dengarkan aku sebentar saja… selama bertahun-tahun aku pendam rasa ini, hanya demi kebahagiaanmu. Aku diam karena aku hanya ingin ada di sisimu dan membuatmu tersenyum. Hanya itu saja. aku tidak mengharapkan kamu paham dan mengerti bahkan aku tidak menginginkanmu untuk selalu ada buat aku.. cukup aku saja yang melakukan semua itu untukmu. Karena hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu. Jadi mengertilah…” sejenak dia terdiam. Sama sekali tidak ada airmata di wajahnya. Dia cukup tegar. “hey… jangan berpikir kalo aku cukup tegar dan kuat mengatakan semua ini ya…” ujarnya tiba-tiba, seolah dia ada di hadapanku secara real dan membaca pikiranku. Inilah yang selama ini selalu aku rindukan, sikap sok tahu nya yang mampu membuatku bebas dan lepas. “Hehehe.. aku ingat, kemarin kamu memintaku untuk menatap matamu dan mengatakan bahwa semua itu tidak benar kan? Tapi aku sama sekali tidak melakukannya. Maaf.. apakah kamu menyadari bahwa aku tidak pernah menatap matamu ketika kamu sedang marah, apalagi marahnya padaku. Aku selalu takut dengan kemarahanmu, yang terkadang tidak terkendali. Dan kenapa aku tidak berbohong padamu, sekalipun aku tahu kamu berharap aku berbohong kan? Semuanya karena aku mencoba untuk jujur dengan perasaanku sendiri, dan aku rasa cepat atau lambat kamu pasti tau, dan aku harus sudah siap dengan semuanya. Maafkan aku karena mencintaimu, melebihi apapun. Jika kamu bertanya sejak kapan, maka akan ku jawab sejak pertama kali kamu mengulurkan tanganmu untuk menolongku yang terluka waktu itu. Sebelum kamu berpacaran dengan Rose, sebelum kamu mengenal Cintya, dan mantan-mantanmu yang lainnya. Maafkan aku… maaf karena aku tidak bisa membuatmu jatuh cinta padaku, dan membiarkanmu berkelana dengan wanita-wanita lain. Aku hanya mencoba menjadi yang terbaik bagimu…”. dia seolah ingin menangis, menundukkan kepala dan terdiam cukup lama, kemudian dia menghadap kamera, wajahnya merah, dan dia masih tetap kuat, “tenang saja… aku tidak akan kenapa-napa kok… aku kan wonder woman.. hehehe” dia masih saja sanggup ketawa..”Makasi untuk persahabatan kita.. makasi untuk ketulusan yang kamu berikan untuku. Sekarang aku harus pergi, orangtuaku dipindahtugaskan di luar kota, dan aku harus segera pergi. Jika memang suatu saat Tuhan menghendaki kita bersatu, maka kita akan bertemu kembali.. jaga dirimu baik-baik ya.. Tuhan menyertaimu selalu..”


Setelah itu, aku tak lagi melihatnya di kampus, maupun di lingkungan perumahan kami. Dia sekarang berada entah dimana. sungguh aku sangat merindukannya… semoga saja aku mampu bertemu dengannya…

_to be continue_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar